Sabtu, 03 April 2010

HERBAL EKSTRAK GRANULES


OBAT TRADISIONAL DI DUNIA

Pemakaian herbal yang utama tetaplah untuk obat tradisional. Jika membicarakan obat herbal ada 3 istilah yang terkait di dalamnya: obat asli, obat tradisional, dan obat bahan alam. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefenisikan obat tradisional sebagai obat asli di suatu negara yang digunakan secara turun-temurun di negara itu atau negara lain. Obat tradisional harus memenuhi kriteria antara lain sudah digunakan minimal 3 generasi dan telah terbukti aman dan bermanfaat.

Obat asli adalah suatu obat bahan alam yang ramuannya, cara pembuatannya, pembuktian khasiat, keamanan, serta cara pemakaiannya berdasarkan pengetahuan tradisional penduduk suatu daerah. Sedangkan obat bahan alam adalah semua obat yang dibuat dari bahan alam yang dalam proses pembuatannya belum merupakan isolat murni. Obat bahan alam bisa berupa obat asli, obat tradisional, atau pengembangan dari keduanya.

Ada beberapa prinsip cara pandang yang berbeda antara obat konvensional dan tradisional. Pengobatan tradisional lebih mengandalkan pada sifat warisanturun-temurun walaupun sekarang sudah berkembang pada pembuktian ilmiah, dasar keilmuan yang digunakan beragam dari yang rasional hingga tidak rasional. Ini menyebabkan orang yang menggunakan pengobatan tradisional harus lebih teliti memilih jenis dan metoda pengobatan. Sifatnya yang tertutup mengakibatkan sulit berkembang, sehingga sulit diterima oleh kalangan luar. Mekanisme kerja tidak selalu jelas, sehingga kadangkala sulit mengharapkan hasil yang sama jika pengobatan diulang. Namun dengan makin tuanya umur suatu pengobatan makin banyak bukti empiris yang didapat. Ini bisa menjadi bekal berharga untuk tahap pengujian secara ilmiah. Pengobatan tradisional juga memiliki pendekatan yang lebih holistic, antara tubuh, pikiran, dan jiwa. Poin terakhir inilah yang sering dianggap sebagai keunggulan pengobatan tradisional.

Penerimaan negara-negara di dunia terhadap sistem pengobatan tradisional beraneka ragam. Berdasarkan kriteria yang dikeluarkan World Health Organization (WHO) ada 3 sistem yang berlaku:
1. Sistem Integratif.
Negara sudah mengakui keberadaan obat tradisional. Ini mendorong pemakaian obat tradisional di rumah sakit, lembaga penelitian, dan asuransi. Terdapat aturan baku yang mengatur sistem produksi, regulasi, dan pengawasan obat tradisional. Negara yang menganut sistem ini adalah China, Korea, dan Vietnam.

2. Sistem Inklusif.

Obat tradisional sudah diakui, tetapi belum diintegrasikan pada pelayanan kesehatan nasional. Sistem ini biasanya dianut oleh negara-negara maju seperti Inggris, Jerman, dan Kanada.

3. Sistem Toleran.
Negara masih menganut sistem pelayanan kesehatan konvensional, tetapi pemakaian obat tradisional tidak dilarang. Sistem inilah yang saat ini paling banyak dianut oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.

Kertas kerja WHO menyebutkan hampir 80% populasi penduduk di Afrika menggunakan pengobatan tradisional dalam kehidupan mereka. Angka ini juga hampir berimbang di Asia dan Amerika Latin. Di China, konsumsi herbal untuk mengobati penyakit mencapai 30%-50%. Di San Fransisco, London dan Afrika Selatan 75% dari penderita HIV/AIDS menggunakan pengobatan komplementer lantaran medis tak banyak memeberikan harapan. Sekitar 70% penduduk Kanada paling tidak sekali dalam hidupnya menggunakan obat tradisional. Di Jerman, negara yang terkenal dengan tradisi homeopathy-nya, hampir 90% penduduknya pernah menggunakan herbal untuk tujuan pengobatan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Antara 1995-2000 tercatat ada 10.800 dokter yang mengambil pelatihan khusus dalam bidang pengobatan tradisional.

Di negara-negara Eropa lain, Amerika Utara, dan negara-negara industri lain setidaknya 50% dari populasi penduduknya pernah menggunakan pengobatan alternatif untuk mengatasi masalah kesehatan. Di Jepang 60-70% dokter meresepkan obat tradisional “Kampo” untuk pasien mereka. Di Malaysia obat tradisional melayu yang sebagian besar sama dengan indonesia digunakan berdampingan dengan pengobatan China dan India. Di Amerika Serikat atas rekomendasi The National Institute of Health, 75 dari sekitar 125 sekolah kedokteran memasukkan meteri obat tradisional dalam kurikulum.


GUDANG HERBAL DUNIA

1. CHINA

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat 30-50% konsumsi kesehatan masyarakat dialokasikan untuk ramuan herbal. Sejak 5.000 tahun silam, nenek moyang bangsa China meramu obat untuk mengatasi beragam penyakit. Ramuan dan penyakit didokumentasikan dalam bahasa kuno di prasasti pada tulang dan cangkang penyu. Dalam sebuah kitab yang ditulis dari masa Dinasti Zhou, 1100-256 SM mulai muncul istilah guru medis untuk menyebut para pengobat.

Catatan medis tertua ada dalam dua kitab kuno: Huang Di Nei Jing (Huangdi’s Internal Classic, artinya Kitab Kaisar Kuning) dan Wai Tai Mi Yao (Resep Rahasia). Penulisnya Kaisar Huangdi (2698-2589 SM). Isinya cara menyembuhkan gangguan pencernaan, pernapasan, dan sistem reproduksi. Ada beberapa tokoh pengobat tradisional China yang terkenal, sebut saja Bian Que (500 SM), ahli penyakit dalam, Hua Tuo (208 SM) ahli bedah, ginekolog, dan pediatrik. Lalu ada Chao Yuanfang penyusun buku General Treatise on The Etiology Symtomatology of Diseases yang merupakan karya China pertama di bidang etiologi dan simtomatologi.

Pengobatan tradisional China mengalami kemajuan pesat saat masa pemerintahan Dinasti Ming (1368-1644 ) dan Dinasti Qing (1644-1911). Pada masa itulah ditulis ensiklopedi ilmu penyakit yang memuat 61.739 resep pengobatan dan 239 ilustrasi. Yang paling terkenal mungkin adalah Kompendium Materia Medika, yang diterbitkan pada tahun 1590. Buku yang ditulis oleh Li Shizhen dan diteruskan oleh Zhan Xuemin itu disusun selama 30 tahun, memuat 1.892 zat medis yang berguna dalam dunia pengobatan.

Dari kitab-kitab tua itulah China membangun peradaban herbalnya, yang sekarang sudah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Perkembangan pengobatan tradisional di China relative maju karena pemerintah negeri itu mendukung penuh. Pemimpin seperti Mao Tse Tung ketika sakit memilih herbal sebagai penawar. Rumah sakit seperti Guangzhou Yuzheng Hospital dan Guangzhou Municipal Special Hospital meresepkan herbal sebagai penawar rasa sakit pasiennya. Contohnya adalah pemakaian infus buah makasar Brucea amarissima.

Dalam pengobatan China dikenal istilah Qi (Energi Vital). Qi dipandang sebagai unsure dasar atau energi yang menyusun tubuh manusia dan menyangga aktivitas manusia. Qi meliputi energi makanan yang masuk, udara yang dihirup, serta aktivitas organ di dalam tubuh. Energi Vital adalah sesuatu yang bisa bergerak di dalam tubuh manusia. Energi vital harus lancar agar organ dalam tubuh dapat berperan optimal. Karena itulah jika aliran Qi kurang lancar, maka kesehatan tubuh akan terpengaruh.

Selain konsep Qi ada lagi filosofi keseimbangan Yin dan Yang. Yin dan Yang adalah pendekatan untuk menafsirkan segala sesuatu yang terjadi di alam. Ketidakseimbangan Yin dan Yang merupakan cikal bakal munculnya penyakit. Yin dan Yang juga diterapkan untuk melabelkan sifat pada obat. Obat untuk menghilangkan dingin disebut Yang; sedangkan obat penghilang panas disebut Yin. Jahe dan Kayu manis termasuk golongan Yang karena digunakan untuk merawat gejala dingin dalam lambung yang berwujud nyeri. Obat-obat yang bersifat dingin digunakan sebagai antidemam.

Pengobatan tradisional China atau TCM (Traditional Chinese Medicine) menggabungkan berbagai macam teknik: herbal, olah energi dan nafas (tai chi, chi kung), serta terapi fisik (akupuntur, shiatsu). Pendekatan pengobatan TCM berbeda dengan medis. Teori pengobatan China berpijak pada alam. Dasar dari pengobatan tradisional China adalah memberi keseimbangan alam. Munculnya penyakit dipandang sebagai akibat dari perlakuan kehidupan alam dan manusia yang tidak seimbang. Karena itu proses penyembuhannya pun berpijak pada alam. Obat-obatan pun diambil sepenuhnya dari alam. Dengan jalan ini diharapkan tidak ada efek samping yang memperburuk keadaan pasien. Obat-obatan diberikan dalam bentuk kapsul, tablet, jamu seduh, dan jamu godog.

Jenis-jenis tanaman yang digunakan dalam pengobatan beraneka ragam, sebagian kecil sama jenisnya dengan negara kita: misalnya saja Jahe (Zingiber officinale), Kecubung (Datura fastuosa), Lingzhi (Ganoderma lucidum), Sambiloto (Andrographis paniculata), dan Tapak dara (Catharantus roseus). Para praktisi pengobatan TCM berhasil memadukan pengobatan medis (konvensional) dengan pengetahuan warisan leluhur. Tak heran jika TCM berkembang dengan pesat. Herbal diolah sedemikian rupa dengan standar tinggi agar lebih bermanfaat dan praktis.

Herba-herba itu digolongkan ke dalam 5 kelompok: pedas, manis, asam, pahit, dan asin. Kayu manis (Cinnamomum burmannli) dan Umbi rumput teki (Cyperus rotundus) termasuk kelompok pedas bermanfaat mengatur aliran darah. Herba dalam grup asin berguna untuk melembutkan dan melancarkan peredaran darah yang macet. Misalnya Ganggang (Sargassum sp.) kulit batang philodendron dapat berfungsi sebagai obat pahit, multifungsi untuk menghentikan diare dan panas.


2. INDIA

Kebudayaan India merupakan salah satu kebudayaan kuno yang tetap bertahan hingga kini. Ayurveda, ilmu kehidupan adalah salah satu sistem pengobatan yang sudah ada sejak 1.000 SM di India. Ayurveda merupakan sistem gaya hidup holistik yang memuat tuntutan tentang pengaturan makanan, olah tubuh, waktu istirahat dan beraktivitas agar tercapai keseimbangan tubuh, pikiran, dan jiwa. Ayurveda bukan hanya sistem pengobatan, tapi gaya hidup.

Di tanah kelahirannya ayurveda sudah dipakai sejak 1.000 SM oleh para resi (guru). Ayurveda mementingkan konsep keseimbangan energi, kesatuan tubuh, pikiran, dan roh. Ada 8 cabang ayurveda: kayacikitsa (penyakit dalam), salyacikitsa (anatomi dan bedah), salakyacikitsa (penyakit telinga, hidung, tenggorokan, dan mata), kaumarabhrtya (tulang), bhutavidya (healing), agenda tantra (toksikologi), rasayana (rejuvenasi), vajikarana (afrodisiak, untuk laki-laki).

Seorang calon pengobat ayurveda harus menguasai ilmu holtikultura, farmasi, seni memasak, metalurgi, kimia (pemisahan dan penyatuan bahan), dan metal. Bahan tanaman yang digunakan sebagai obat beragam, contohnya: Mengkudu Morinda citrifolia (ach), Senna Cassia angustifolia (markandika), Kamfer Cinnamomum camphora (karpoor), Kunyit Curcuma longa (haridra), Rumput teki Cyperus rotundus (mustaka), Lada hitam Piper nigrum (maricha), atau Delima Punica granatum (dadima).


3. KOREA

Pengobatan herbal di negeri ginseng tidak bisa dilepaskan dari pengaruh China dan India. Sistem pengobatan tradisional di sana dikenal dengan nama Korea Oriental Medicine (KOM) atau lebih populer dengan sebutan hangbang. Menurut Yong Suk Kim, OMD, PhD dan Jun Wang, OMD, PhD dari graduated School of East-West Medical Science, Kyung Hee University, Korea dalam Complementary Health Practice Review Vol 10 No.2, 2005 sekitar 20% dari populasi penduduk korea masih setia menggunakan hangbang.

Seputar hangbang sudah dilakukan secara ilmiah hingga tingkat universitas. Salah satunya kajian pengaruh KOM terhadap penyembuhan stroke dan Parkinson. Walaupun mendapat pengaruh besar dari pengobatan China, tetapi hangbang mengembangkan teknik khusus yang bersifat khas. Teknik-teknik itu adalah aturan pengobatan Sasang (Sasang Constitusional Medicine), Saam Scupuncture, Herbal Acupuncture, dan Korean Hand Acupuncture. Perkembangan KOM terlihat dari banyaknya sekolah-sekolah tinggi yang khusus mempelajarinya. Tak heran jika di Korea mudah dijumpai dokter dan apoteker khusus KOM.

LANGKAH DEMI LANGKAH MENUJU PEMBUKTIAN

Herbal tradisional baru bisa dikatakan sebagai obat jika telah diteliti melalui proses yang panjang dan lama sehingga bisa dipastikan unsur / zat aktifnya, diketahui efek farmakologisnya, bisa dipastikan proses pembuatannya. Untuk memudahkan pengawasan dan perizinan, Badan Pengawas Obat dan Makanan mengelompokkan tanaman obat dalam kelompok jamu, herbal terstandar, dan fitofarmaka. Masing-masing memiliki syarat tersendiri. Yang disebut jamu adalah ramuan yang dibuat dari bahan-bahan alam, digunakan secara turun-temurun, dipercaya berkhasiat berdasarkan pengalaman, dan belum ada penelitian ilmiah untuk mendapatkan bukti klinik mengenai khasiat tersebut. Bahan-bahan jamu umumnya berasal dari semua bagian, bukan hasil ekstraksi/isolasi mengenai bahan aktifnya saja. Bahkan kemungkinan bahan aktif belum diketahui secara pasti karena belum ada penelitian.

Setingkat di atas jamu adalah herbal terstandar, yaitu bahan-bahan jamu yang telah diuji secara ilmiah (penelitian praklinik dengan uji) meliputi uji khasiat dan manfaat. Jamu harus memenuhi criteria aman, klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah, telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang dipergunakan dalam produk jadi, dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.

Kategori tertinggi adalah fitofarmaka dengan persyaratan aman, klaim khasiat berdasarkan uji klinik (diterapkan pada manusia), telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang dipergunakan, dan memenuhi persyaratan umum yang berlaku. Sebuah jamu akan melalui uji-uji berikut ini sebelum sukses diakui sebagai bagian dari fitofarmaka: uji toksisitas, uji eksperimental pada hewan serta uji klinik fitofarmaka pada manusia yang meliputi uji pada manusia sehat dan uji pada pasien dengan penyakit tertentu. Jamu pada kategori fitofarmaka sudah bisa disejajarkan dengan obat modern.

Serangkaian uji itu dimulai dengan uji praklinis. Uji dari praklinis diperoleh informasi penting tentangefikasi farmakologi, profil farmakokinetik, dan tingkat toksisitas bahan. Uji praklinis adalah pengujian obat pada reseptor kultur sel terisolasi atau organ yang terisolasi. Setelah itu diuji pada hewan utuh seperti mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing, atau beberapa hewan primata lain. Hanya dengan menggunakan hewan utuh dapat diketahui efek toksik obat pada berbagai dosis pengobatan. Selain itu toksisitas merupakan cara mengevaluasi kerusakan genetik (genetoksisitas, mutagenesitas), pertumbuhan tumor (onkogenesitas dan karsigonesitas), dan kejadian cacat waktu lahir.

Selain uji pada hewan, juga dikembangkan uji in vitro untuk menentukan khasiat obat. Contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell line, uji antimikroba pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, dan uji antiinflamasi.

Jika sudah dinyatakan memiliki manfaat dan aman pada hewan percobaan, bahan obat diuji ke manusia. Uji itulah yang disebut uji klinis. Uji itu musti mengikuti deklarasi Helsinki yang terdiri dari 4 fase. Fase pertama, calon uji sukarelawan sehat untuk mendapatkan hasil yang sama dengan hewan percobaan. Fase kedua, calon obat diuji pada pasien tertentu, diamati efikasi pada penyakit yang ingin diobati. Fase ketiga, pengujian efikasi dan keamanan obat baru dibandingkan dengan obat pembanding yang selama ini digunakan untuk mengobati penyakit itu.

Setelah calon obat dibuktikan berkhasiat, mirip obat yang sudah ada lebih dahulu dan menunjukkan keamanan saat dipakai, maka obat itu diizinkan untuk diproduksi sebagai legal drug. Obat dipasarkan dengan nama dagang tertentu yang dapat diresepkan oleh dokter.

Fase terakhir atau fase keempat, setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pascapemasaran yang diamati pada pasien dalam berbagai kondisi, usia, dan ras. Studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat terapeutik dan pengamatan jangka panjang dalam menggunakan obat. Dari hasil evaluasi itu masih memungkinkan suatu obat ditarik dari peredaran jika terbukti membahayakan. Tanaman unggulan nasional yang telah diuji klinis baru 9 yaitu: Sambiloto, kunyit, jahe merah, jati belanda, temulawak, jambu biji, cabai jawa, salam, dan mengkudu.


JALAN MENUJU PEMBUKTIAN

JAMU

Obat bahan alam yang sediaanya masih berupa simplisia sederhana. Khasiat dan keamanannya belum terbukti secara empiris berdasar pengalaman turun-temurun. Disebut jamu jika sudah digunakan di masyrakat melewati 3 generasi atau setara dengan 180 tahun.

HERBAL TERSTANDAR

1. Herbal Terstandar
Adalah bentuk sediaan sudah berupa ekstrak dengan bahan dan proses pembuatan yang terstandarisasi. Herbal terstandar juga harus melewati uji praklinis seperti uji toksisitas (keamanan), kisaran dosis, famakologi dinamik (manfaat) dan teratogenik (keamanan terhadap janin).

2. Uji Eksperimental In Vitro
Riset in vitro bersifat parsial alias baru diuji coba pada sebagian organ diatas cawan Petri. Tujuannya untuk mengklarifikasi atau membuktikan klaim sebuah obat. Ekstrak herbal diberikan kepada sebagian organ yang terisolasi, kultur sel atau mikroba. Pengamatan pada efek yang ditimbulkan.

3. Uji Eksperimental In Vivo
Penelitian in vivo dilakukan pada hewan percobaan seperti mencit dan kelinci. Tujuannya untuk membuktikan klaim sebuah obat. Contoh buah merah sebagai antikanker dibuktikan dengan menyuntikkan senyawa pencetus kanker ke dalam tubuh mencit. Lalu sari buah merah diberikan pada hewan itu dan diamati perkembangannya.

4. Uji Toksisitas Akut

Tujuannya untuk mengetahui nilai LD50 (lethal dosage, dosis mematikan) sebuah obat. Semakin tinggi angka LD50 berarti semakin aman obat itu, karena dibutuhkan dosis tinggi untuk sampai pada tahap mematikan.

5. Uji Toksisitas Subkronik
Uji ini dilakukan untuk mengamati kelainan akibat mengkonsumsi obat yang diamati. Efek akumulasi obat menjadi fokus riset tahap ini. Setiap hari selama 3 bulan berturut-turut hewan percobaan diberi ekstrak herbal yang sedang diamati.

6. Uji Toksisitas Khusus
Uji ini untuk melihat keamanan konsumsi obat dalam jangka panjang. Apakah obat bersifat karsinogenik (memicu tumbuhnya sel kanker), mutagenic (memicu mutasi sel), teratogenik (aman bagi janin), reproduksi (aman bagi organ reproduksi) atau iritasi.


FITOFARMAKA


1. Fitofarmaka

Adalah herbal terstandar dapat naik kelas menjadi fitofarmaka jika telah diuji pada manusia (uji klinis). Dosis pada hewan percobaan dikonversi ke dosis aman bagi manusia. Dari uji inilah diketahui kesamaan efek pada hewan percobaan dan manusia.

2. Uji Klinis Fase 1
Untuk mengetahui dan mengklarifikasi efek dan farmakokinetik (nasib obat) dalam tubuh. Sukarelawan yang sehat dan jumlahnya tertentu diberi obat. Lalu diamati pola penyerapan, metabolisme, dan ekskresi pascakonsumsi obat.

3. Uji Klinis Fase 2
Obat diberikan pada orang sakit sesuai klaim obat. Missal Kumis kucing sebagai penurun tekanan darah mesti diberikan pada penderita penyakit ini. Untuk kontrol digunakan placebo sebagai pembanding.

4. Uji Klinis Fase 3
Jumlah sukarelawan diperbanyak dan lokasi uji diperluas. Obat yang akan diteliti dibandingkan dengan inovator. Pembanding inovator adalah obat yang sudah mapan di pasaran dan terbukti banyak digunakan untuk mengobati penyakit yang diklaim. Misalnya untuk kanker digunakan Tamoxifen dan untuk tekanan darah tinggi Amlodipin.

5. Uji Klinis Fase 4
Setelah lulus fase 3 obat sudah bisa dipasarkan. Meski demikian obat tetap dipantau. Ada pelaporan tentang kejadian/efek tertentu setelah mengkonsumsi obat yang terjadi di masyarakat.
Sumber :
Trubus Info Kit Vol.08
Herbal Indonesia Berkhasiat